Ramadan adalah bulan yang paling dinanti oleh umat Islam di dunia dimana jutaan umat Islam berpuasa, berdoa, dan beribadah. Di Hungaria, menjalankan ibadah puasa bisa menjadi sulit, mengingat status Islam yang minoritas, hanya 0,1% dari populasi warga negaranya. Hal ini pun dirasakan oleh salah seorang alumni Tadris Bahasa Inggris yang juga merupakan dosen UIN Antasari, M. Arinal Rahman. Sebagai warga baru di Hungaria karena melanjutkan studi doktoralnya pada program English Applied Linguistics di University of Szeged, Arinal banyak mendapatkan pengalaman dalam memahami konteks budaya, toleransi, dan tradisi khusus yang berbeda dengan di Indonesia.
“Salah satu pengalaman menarik terkait keragaman budaya yang saya alami adalah melihat cara berpakaian dan menjalankan ibadah yang berbeda di kalangan Muslim Hungaria,” tuturnya. Arinal menggambarkan ada yang berpakaian ala Barat modern, bertato, namun tetap menjalankan ibadah puasa. Ada pula yang mengikuti ajaran Syiah dengan menaruh batu di sajadah saat sholat. Mungkin hal ini agak mengagetkan buat kita yang terbiasa beribadah dengan sistem yang seragam di Banjarmasin dan berhadapan dengan berbagai jenis cara beribadah yang berbeda dari apa yang pernah kita jumpai” Tutur nya.
Perbedaan signifikan antara lain tidak banyak pilihan masjid untuk sholat. Di kota Szeged hanya ada 1 masjid, berbeda dengan di Banjarmasin dimana kita bisa dengan mudah menemukan mushola dan masjid. Selain itu, tata cara salat dan bacaan Al-Qur’an agak berbeda mengikuti imam yang kebanyakan berasal dari Mesir. Masyarakat Muslim di sana juga lebih beragam, ada yang mengikuti aliran Sunni dan Syiah sehingga terlihat perbedaan dalam cara ibadah. Dari semua perbedaan ini meningkatkan rasa toleransi akan perbedaan dan memperkuat rasa kekeluargaan dan persaudaraan sesama muslim.
Berbeda halnya dengan warga non-muslim, mereka masih asing dan kurang memahami tradisi Ramadan. “Secara umum, saya merasa dukungan dan toleransi dari masyarakat Hungaria non-muslim terhadap perayaan Ramadan masih kurang,” jelasnya. Dosen dan teman temannya di kampus tidak mengetahui bahwa dia sedang berpuasa. Meskipun demikian, pihak universitas telah memberi izin untuk mengadakan acara buka puasa bersama. ”Kami pun sebenarnya ingin buka bersama di restoran atau kafe, tetapi harganya tidak sesuai dengan kantong mahasiswa penerima beasiswa, jadinya kami lebih memilih ikut buka bersama di masjid,” tambahnya.
Hal lainnya yang juga membuat Arinal culture shock adalah penyesuaian waktu. Dia harus beradaptasi dengan 4 musim yang berbeda. Perbedaan lama waktu berpuasa dibandingkan dengan Indonesia, ketika musim panas puasa di Hungaria bisa mencapai 15 jam sedangkan di Indonesia rata rata hanya 13 jam berpuasa. Namun karena saat ini disana sedang menghadapi musim semi dimana terjadi perubahan ekstrim panas di siang hari dan dingin di malam hari, maka lama puasa menjadi 14 jam saja. Dari semua pengalaman menjalani puasa dengan banyaknya perbedaan, Arinal tetap semangat dan fokus dalam menjalankan ibadahnya di bulan suci ini bersama keluarga kecilnya yang juga ikut menemani tugas belajarnya disana. Arinal juga ingin terus menjaga keimanan dan mengenalkan Islam ke masyarakat sekitar dengan harapan bisa memaksimalkan amal ibadah di bulan suci ini di mana pun kita berada. (Mik/Afi)
